Sunday, April 8, 2018

Kekhawatiran Abdurrahman bin Auf Akan Wafatnya Rasulullah


Satu ketika sahabat Abdurrahman bin Auf mendapati Rasulullah berjalan sendirian. Dari jarak yang tak jauh ia mengikuti beliau hingga kemudian memasuki sebuah kebun kurma.
Ketika Rasul berada di tengah kebun itu tiba-tiba beliau bersujud, entah mengapa. Sementara Abdurrahman bin Auf terus memperhatikannya. Ia sempat menunggu beberapa lama berharap Rasulullah segera menyudahi sujudnya. Namun harapannya tak segera terwujud. Rasulullah begitu lama dalam sujudnya.
Air mata Abdurrahman mulai meleleh. Ia menangis. Ada kekhawatiran dalam dirinya pada diri kekasihnya. “Adakah Rasulullah meninggal dunia dalam sujudnya itu? Adakah aku tak akan pernah lagi melihatnya untuk selamanya?” dalam takutnya ia mengira.
Syukurlah, apa yang dikhawatirkannya tak benar. Dilihatnya Rasulullah bangkit dari sujudnya dengan wajah berseri-seri. Abdurrahman bin Auf segera mendekati beliau.
“Ada apa denganmu wahai Abdurrahman?” tanya Rasulullah yang melihat sahabatnya berlinang air mata.
Maka Abdurrahman pun menceritakan ihwalnya. Mulai dari awal mengikuti perjalanan beliau sampai adanya kekhawatiran kalau-kalau beliau telah dicabut ruhnya oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ .
Atas kekhawatiran sahabatnya itu maka Rasulullah menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. “Barusan malaikat Jibril mendatangiku,” ujarnya. “Kepadaku ia mengatakan, aku sampaikan kepadamu kabar gembira bahwa Allah menyatakan, ‘Barangsiapa yang bershalawat kepadamu maka Aku bershalawat kepadanya. Dan barangsiapa yang bersalam kepadamu maka aku bersalam kepadanya.’ Karena kabar dari Jibril itulah maka aku bersujud sebagai rasa syukurku kepada Allah.”
Kisah di atas banyak direkam oleh para ulama hadits di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻋَﻮْﻑٍ، ﻗَﺎﻝَ : ﺧَﺮَﺝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻓَﺘَﻮَﺟَّﻪَ ﻧَﺤْﻮَ ﺻَﺪَﻗَﺘِﻪِ ﻓَﺪَﺧَﻞَ، ﻓَﺎﺳْﺘَﻘْﺒَﻞَ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔَ ﻓَﺨَﺮَّ ﺳَﺎﺟِﺪًﺍ، ﻓَﺄَﻃَﺎﻝَ ﺍﻟﺴُّﺠُﻮﺩَ ﺣَﺘَّﻰ ﻇَﻨَﻨْﺖُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻗَﺒَﺾَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻓِﻴﻬَﺎ، ﻓَﺪَﻧَﻮْﺕُ ﻣِﻨْﻪُ، ﺛُﻢَّ ﺟَﻠَﺴْﺖُ ﻓَﺮَﻓَﻊَ ﺭَﺃْﺳَﻪُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ‏« ﻣَﻦْ ﻫَﺬَﺍ؟ ‏» ﻗُﻠْﺖُ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ، ﻗَﺎﻝَ : ‏« ﻣَﺎ ﺷَﺄْﻧُﻚَ؟ ‏» ﻗُﻠْﺖُ : ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺳَﺠَﺪْﺕَ ﺳَﺠْﺪَﺓً ﺧَﺸِﻴﺖُ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻗَﺪْ ﻗَﺒَﺾَ ﻧَﻔْﺴَﻚَ ﻓِﻴﻬَﺎ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : " ﺇِﻥَّ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻼﻡُ، ﺃَﺗَﺎﻧِﻲ ﻓَﺒَﺸَّﺮَﻧِﻲ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻳَﻘُﻮﻝُ : ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺳَﻠَّﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻓَﺴَﺠَﺪْﺕُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﺷُﻜْﺮًﺍ "
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Auf ia berkata, Rasulullah pergi menuju ke arah kebun yang disedekahkan olehnya. Kemudian beliau memasukinya, menghadap ke arah kiblat lalu tersungkur bersujud. Beliau begitu lama bersujud sampai aku mengira bahwa Allah telah mengambil ruhnya di dalam sujudnya. Aku mendekati beliau dan duduk. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Siapa ini?’ Aku menjawab, ‘Abdurrahman.’ Beliau bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab, ‘Ya Rasul, engkau bersujud begitu lama. Aku khawatir Allah telah mengambil nyawamu dalam sujud itu.’ Rasulullah bersabda, ‘Jibril mendatangiku dan memberi kabar gembira kepadaku. Ia berkata, bahwa Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang bershalawat kepadamu maka Aku bershalawat kepadanya, dan barangsiapa bersalam kepadamu maka Aku bersalam kepadanya’. Maka aku bersujud sebagai rasa syukur.”
Dari cerita hadits tersebut dapat kita pahami bahwa bagi Rasululah adanya Allah bershalawat dan bersalam kepada umatnya adalah sesuatu yang luar biasa yang tak terkira nilainya bagi siapa saja yang menerima shalawat dan salam dari Allah itu. Ini bisa dilihat dari bagaimana beliau mengekspresikan rasa syukurnya dengan bersujud yang cukup lama sampai-sampai sahabat Abdurrahman bin Auf merasa khawatir akan meninggalnya rasul tercinta itu.
Para ulama menuturkan bahwa ketika Allah bershalawat kepada hamba-Nya itu berarti Allah memberikan rahmat kasih sayang-Nya kepada sang hamba. Padahal dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa seorang yang bershalawat satu kali kepada Baginda Rasul maka ia akan dishalawati oleh Allah sebanyak sepuluh kali. Artinya ia mendapat sepuluh rahmat dari Allah. Bila berhitung demikian, lalu bagaimana bila seseorang memperbanyak bacaan shalawat? Bukankah ia tidak sekedar menerima sepuluh-dua puluh rahmat, tapi ia tercurahi oleh rahmat Allah?
Untuk bisa menggambarkan betapa berharganya rahmat Allah bagi seorang hamba dapat dibuat sebuah gambaran. Seseorang yang mendapat hadiah dari seorang walikota tentunya akan merasa senang dengan hadiah tersebut. Sementara orang yang menerima hadiah dari seorang gubernur apalagi presiden mestinya dia akan lebih senang lagi dengan hadiah yang ia terima. Bukan karena begitu mahal dan bagusnya hadiah yang diberikan, tapi karena jabatan orang yang memberikan. Semakin besar, tinggi dan mulia jabatan serta kedudukan orang yang memberi hadiah akan semakin membuat senang orang yang menerima hadiah.
Lalu bagaimana bila hadiah itu diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya? Bukankah Dia lah yang paling tinggi kedudukannya di alam semesta ini? Bila hadiah yang diberikan oleh seorang pejabat saja mampu membuat orang bersuka cita, maka tidakkah umat Baginda Muhammad bersuka ria dengan hadiah shalawat yang diberikan sang Pencipta?
Hadiah dari seorang pejabat bukan karena bagus dan mahalnya hadiah itu, tapi karena jabatan pemberinya. Sedangkan hadiah dari Allah bukan saja karena siapa pemberinya, namun juga karena nilai hadiahnya yang menghantarkan pada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akherat penerimanya.
Bagaimana dengan salamnya Allah bagi para pembaca shalawat?
Pernahkah Anda menerima kiriman salam dari kekasih tercinta? Ketika Anda jatuh hati pada lawan jenis yang dipuja, lalu darinya Anda mendapatkan salam, tidakkah hati Anda berbunga-bunga?
Lalu bagaimana bila yang mengirim salam kepada Anda adalah Dzat yang Pengasih lagi Penyayang dengan segala kasih dan sayang? Tidakkah menerima salam dari-Nya lebih berbunga-bunga dari menerima salam dari gadis atau jejaka pujaan?
Juga ketika Anda didoakan keselamatan oleh seorang kiai misalnya, bukankah Anda akan merasa bahagia mengingat yang mendoakan adalah seorang yang diyakini memiliki kedekatan dengan Dzat yang memberikan keselamatan? Bila demkian adanya, lalu bagaimana bila yang bersalam kepada Anda adalah Dzat Sang Penyelamat itu sendiri?
Barangkali alasan-alasan yang demikian itu yang menjadikan Rasulullah begitu bergembira hingga merasa perlu bersyukur dengan sujud yang lama. Beliau berbahagia bila umatnya diperlakukan dengan begitu mulia oleh Allah hanya dengan sebuah amalan yang secara kasat mata begitu ringan dilakukan.
Lalu bagaimana dengan diri sang umat? Adakah shalawat dan salam Allah itu dirasa sebagai anugerah yang luar biasa, yang karenanya kemudian mereka berlomba untuk sebanyak-banyak bershalawat kepada nabinya? Adakah setiap harinya mereka memperbanyak bacaan shalawat sebagai rasa hormat dan terima kasih pada sang nabi, dan juga demi keselamatan dan kebahagiaan mereka sendiri di dunia dan akherat kelak? Wallahu a’lam . (Yazid Muttaqin)

Sunday, April 1, 2018

Ummi Maktum Wanita Buta Berderajat Mulia


              Apakah anda masih ingat kisah yang tertuang dalam surat ‘Abasa, tentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang sengaja mengabaikan Ibnu Ummi Maktum, seorang tunanetra yang menemui beliau untuk meminta pengajaran Islam darinya? Sungguh, Allah segera menegur Rasul-Nya yang mulia itu dengan menurunkan surat ini, membuat baginda Rasulullah mengerti bahwa beliau merupakan utusan-Nya bagi seluruh kaum, baik yang sempurna maupun yang cacat.

            Pertanyaannya, siapakah jati dirinya yang sebenarnya? Sahabat Rasulullah yang satu ini memang bukan orang yang terkenal. Ia bukan seorang petinggi suatu suku, bukan penyair hebat dan bukan pula pria yang gagah perkasa. Ia hanyalah seorang rakyat biasa di tengah-tengah hiruk pikuk kota Mekkah, yang berjuang untuk menghidupi dirinya seorang.

            Mengenai namanya, masih ada perselisihan di antara kaum muslimin. Penduduk kota Madinah berpendapat bahwa namanya ialah Abdullah bin Ummi Maktum, tetapi orang Iraq berpendepat berbeda namanya adalah ‘Amru bin Ummi Maktum. Walau begitu, mereka semua sepakat bahwa nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma’ish. Ya, ia adalah putra dari bibi Siti Khadijah binti Khuwalid. kumpulpaytren.blogspot.com

           Ibnu Ummi Maktum memang buta sejak lahir. Penduduk kota Mekkah kala itu mengenal pribadinya sebagai orang yang ulet mencari rezeki dan belajar mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan. Sebagai ganti penglihatannya, ia diberkahi daya ingat yang kuat, sehingga segala sesuatu yang ia dengar dari orang-orang akan ia ingat dalam waktu yang lama.

            Suatu ketika, terdengar kabar bahwa semakin banyak penduduk kota Mekkah yang pergi menemui seorang mulia lagi terpecaya untuk belajar mengenai kabar langit secara sembunyi-sembunyi. Dialah Nabi Muhammad, sang Al-Amin, sang Rasulullah. Tertarik, Ibnu Ummi Maktum yang selalu mencintai keilmuan segera mengambil tongkatnya dan pergi menemui beliau.

            Di luar dugaan, apa yang ia dengar langsung dari Rasulullah justru lebih dahsyat ketimbang apa yang dibicarakan orang-orang sebelumnya. Setelah puas dihinggapi rasa takjub lagi kagum, ia pun menggenggam lengan Rasulullah yang saat itu sedang berusaha keras menyampaikan risalah Islam kepada para petinggi Quraisy, seraya berkata, “Tolong ajarkan kepadaku apa yang telah diajarkan Tuhanmu kepadamu!” newstribunakurat.blogspot.com
Tersinggung karena disela di tengah-tengah ucapannya, Rasulullah tak menghiraukan Ibnu Ummi Maktum dan berpaling dengan mengerutkan wajahnya. Beliau kembali melayani tamu-tamu kehormatannya sampai pertemuan itu usai. Ketika Rasulullah hendak beranjak pergi, maka turunlah surat ‘Abasa ayat 1, “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling.”

           Hati Rasulullah segera mencekik. Nuraninya berontak. Rasulullah segera memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang telah ia perbuat kepada seorang manusia yang membutuhkan pentujuknya untuk mengenal Allah. Maka, bergegaslah Rasulullah menemui Ibnu Ummi Maktum dan memberikan pedoman hidup yang lurus kepadanya; Al-Quran. Dan setelahnya, Rasulullah amat memuliakan sahabatnya yang buta ini dengan menyapanya, “Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan baik!” Sungguh mulia Ibnu Ummi Maktum di mata beliau.

           Dalam kehidupan pasca-Islam, Ibnu Ummi Maktum dikenal sebagai orang yang amat mencintai Allah serta Rasul-Nya. Dalam suatu riwayat, dikisahkan bahwa ia pernah tinggal di rumah seorang wanita Yahudi, bibi seorang Anshar. Wanita itu baik hati dan melayani makan-minumnya. Sayang, mulutnya tak pernah henti untuk menghina orang-orang yang dicintai oleh Ibnu Ummi Maktum. Tak sabar, Ibnu Ummi Maktum menegurnya beberapa kali, namun tak diindahkan oleh wanita Yahudi itu. Terpaksa, Ibnu Ummi Maktum memukulnya. Ternyata, pukulan itu mematikan dan perkara ini dilaporkan kepada baginda Rasul.
“Mengapa kau bertindak demikian?” tanya Rasulullah kepadanya.
“Wahai Rasulullah, sungguh ia seorang wanita yang berbudi baik kepadaku, namun mulutnya senantiasa mencela Allah dan Rasul-Nya, maka terpaksalah aku memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya ajal telah menjemputnya,” bela Ibnu Ummi Maktum.
“Sungguh, Allah menghalalkan darahnya.”

          Tak sampai di situ saja, kecintaannya kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala ia buktikan dalam berbagai bentuk partisipasinya dalam peperangan. Suatu ketika, saat pasukan muslimin berangkat menuju Al-Qadisiyah, Ibnu Ummi Maktum bertemu dengan sang komandan perang, “Wahai kekasih Allah, sahabat Rasulullah, pahlawan perang, serahkan bendera perang itu padaku. Aku seorang buta, tak mungkin bisa lari. Nanti, tempatkanlah aku di antara kedua pasukan yang berperang.”
Menurut Qatadah, Anas bin Malik berkata, “Dalam perang Al-Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memegang bendera perang hitam dan mengenakan baju besi.” Dan berdasarkan riwayat, Ibnu Ummi Maktum tidak meninggal di medan perang, melainkan di Madinah. Semoga Allah merahmatinya. anabustami.blogspot.com

             Setelah menyaksikan kesungguhan perjuangan seorang tunanetra ini dalam berjihad di jalan Allah, adakah argumen yang dapat memenangkan kemalasan kita dalam memperjuangkan agama yang agung ini? Adakah alasan yang dapat menjauhkan kita dari kewajiban berjihad (berjuang dengan sungguh-sungguh)? Sungguh tak ada satu pun yang demikan. Maka, majulah dalam keteguhan, bersatulah dalam ketaatan, dan berjuanglah dalam mencari ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu’alam.

Cerita

Kisah Keberanian Syekh Umar Mukhtar Di Depan Hakim Italia

sumber foto : google Di Depan Hakim Penjajah (Italia), Syekh Umar Mukhtar: Jari Telunjuk Yang Mengacung La IIlaha Ilallah Tak Menulis Kalima...